إِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ
“Sesungguhnya Allah memperkuat agama ini dengan orang yang bejat.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Hadis ini disampaikan oleh Rasulullah saat Perang Khaibar. Waktu itu, ada seorang yang mengaku sebagai Muslim ikut dalam perang. Namun demikian, Rasulullah menyatakan bahwa orang tersebut termasuk penghuni neraka. Ternyata, ketika perang dimulai orang tersebut justru bertempur dengan sangat gigih. Sempat ada sahabat yang bertanya-tanya mengapa orang ini masuk neraka padahal dia berjihad dengan cara yang luar biasa.
Tidak lama setelah itu, dia terluka. Dia tampak kesakitan sekali. Beberapa waktu kemudian, dia mengambil sebuah anak panah, dan melakukan bunuh diri. Setelah kejadian tersebut, para Sahabat mendatangi Nabi untuk melaporkan hal ini. Mereka berkata, “Allah membenarkan pernyataanmu wahai Rasulullah. Si fulan telah bunuh diri.” Syahdan, Nabi menyuruh sahabat Bilal bin Rabah untuk berdiri dan mengumumkan, “Tidak akan masuk surga kecuali orang mukmin, dan sesungguhnya Allah memperkuat agama ini dengan orang yang bejat.”
Syekh Ibnu al-Munir menyatakan bahwa hadis ini bisa dibuat hujah mengenai tidak bolehnya memberontak kepada pemimpin yang zalim dengan alasan bahwa pemimpin yang zalim tidak ada gunanya dalam Islam. Sejarah menunjukkan, justru beberapa pemimpin yang terkenal kejam justru melakukan penaklukan yang sangat luas serta memiliki jasa yang besar bagi perkembangan agama Islam. Al-Walid bin Abdil Malik, misalnya. Masa pemerintahannya dikenal kejam, namun pemerintahannya justru berhasil melakukan penaklukan paling luas sepanjang sejarah mulai dari India, Cina, Afrika hingga Andalusia. Rekor penaklukan yang dilakukan oleh al-Walid tidak pernah disamai oleh khalifah yang manapun.
Al-Hafidz al-Munawi menyatakan bahwa hadis ini berlaku umum sesuai kandungan lafalnya, sebab secara ushul fikih, luasnya cakupan sebuah nash didasarkan pada keumuman lafal bukan kekhususan sebab. Oleh karena itu, menurut beliau pemimpin yang zalim dan ulama yang fasik juga tercakup dalam kandungan hadis tersebut. Maksudnya, boleh jadi keduanya memiliki jasa bagi perkembangan agama meskipun kepribadian mereka jauh dari tuntunan agama. Atau, dalam bahasa lain, ada orang yang memiliki jasa bagi agama Islam, tapi dia termasuk ahli neraka.
Jauh sebelum al-Munawi, Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’ Ulûmiddîn telah mengurai kandungan hadis ini dalam bentuk uraian sufistik yang lengkap, utuh dan sangat mengena. Sebelum berbicara tentang hadis ini, mula-mula beliau menguraikan tentang sepuluh penyakit hati yang menjadi sumber utama kerusakan moral. Lalu, beliau menyatakan bahwa semestinya kita fokus terhadap penyakit hati dan kemaksiatan yang belum bisa kita jauhi.
Imam al-Ghazali menyarankan agar seorang salik memiliki jarîdah atau semacam daftar penyakit hati yang masih melekat dalam dirinya. Jika dia sudah berhasil menghindari satu item maka berpindahlah kepada item yang lain. Jangan terfokus kepada satu item yang sudah berhasil dia hindari.
Saran Imam al-Ghazali ini berbeda dengan kecenderungan umum. Biasanya, seseorang cenderung fokus dan fanatik terhadap kelebihan yang dia miliki; sangat teliti dan anti terhadap sebuah kekurangan yang telah berhasil dia jauhi; serta bersikap longgar dan lalai dalam memperhatikan berbagai kekurangan yang masih melekat kuat dalam dirinya. Hal ini disebabkan karena dia ingin melihat dirinya sebagai orang baik, merasa puas dengan kelebihan yang telah dia capai, merasa suci dengan kekurangan yang telah berhasil dia hindari.
Imam al-Ghazali menyarankan sebaliknya. Beliau menyatakan dalam Ihyâ’ Ulûmiddîn:

بَلْ كُلُّ فَرِيْقٍ مِنَ النَّاسِ يَغْلِبُ عَلَيْهِمْ نَوْعٌ مِنَ المَعْصِيَةِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يَكُوْنَ تَفَقُّدُهُمْ لَهَا وَتَفَكُّرُهُمْ فِيْهَا لَا فِيْ مَعَاصٍ هُمْ بِمَعْزِلٍ عَنْهَا
“Bahkan, masing-masing golongan memiliki jenis kemaksiatan yang menjadi kebiasaan mereka. Maka, seharusnya mereka fokus dalam mengawasi dan memperhatikan jenis maksiat tersebut, bukan memperhatikan maksiat yang lepas dari diri mereka.”
Dalam konteks tersebut, Imam al-Ghazali menyampaikan beberapa kekurangan yang seharusnya menjadi fokus para ulama dalam meningkatkan diri. Mengenai kekurangan yang tampak secara lahiriah, beliau menyatakan: “Kebanyakan dari orang-orang yang dianggap saleh oleh masyarakat, seharusnya membuat daftar maksiat-maksiat yang tampak (pada diri mereka), seperti memakan barang syubhat, mengucapkan hal-hal yang mengandung ghibah, adu domba, debat, memuji diri, berlebihan dalam menyerang lawan, berlebihan dalam mendukung kawan, bermanis muka terhadap masyarakat sampai meninggalkan amar makruf nahi mungkar (terhadap mereka). Orang-orang yang dianggap saleh oleh masyarakat, pada umumnya, tidak terlepas dari sejumlah kekurangan ini dalam dirinya. Seseorang yang belum terhindar dari dosa-dosa yang tampak seperti ini, sangat sulit bagi dia untuk bisa fokus dalam menyucikan dan meningkatkan kualitas hatinya.”
Sedangkan mengenai penyakit batin yang biasa menghinggapi hati orang-orang alim adalah keinginan hati untuk menonjolkan diri, bangga dengan kelebihannya, pencitraan diri, iri terhadap sesama ulama, ingin banyak pengikut, dan semacamnya.
Imam al-Ghazali menyatakan bahwa orang yang alim dan wara’ sekalipun, pada umumnya, masih sulit untuk terlepas dari niat menonjolkan diri saat mengajar atau memberi nasehat. Penyakit ini jarang sekali menjadi perhatian mereka. Saat orang-orang terpana dengan ucapannya, sulit sekali bagi dia terlepas dari perasaan bangga diri dan motivasi pencitraan. Dia menipu diri, menyusun kata-kata yang memukau seolah-olah tujuannya agar ajaran agama dapat diterima dengan baik, padahal dalam hatinya yang paling dalam, motivasi yang sesungguhnya adalah ingin menjadi tokoh yang dikagumi.
Begitu pula, ketika orang-orang menolak ucapannya, sangat sulit bagi dia terlepas dari rasa benci dan marah kepada mereka. Lalu, dia menipu diri seolah-olah marah dan benci karena orang-orang itu menolak kebenaran, padahal dalam hatinya yang paling dalam dia marah dan benci kepada orang-orang itu karena menolak ucapannya. Indikasi dari motivasi tersembunyi ini adalah ketika orang-orang menolak ucapan ulama lain tentang hal yang sama, maka reaksinya tidak sama. Dia tidak marah seperti ketika ucapannya ditolak; atau bahkan bisa jadi dia merasa gembira dengannya. Kalau perasaan semacam itu ada pada dirinya, berarti hal tersebut merupakan pertanda kuat bahwa dia sedang berdakwah untuk kepentingan dirinya, bukan berdakwah untuk kepentingan agamanya.

× Hubungi Kami Via Chat