Tarbiyah (Pendidikan) merupakan  usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar memiliki spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”( UU Sisdiknas pasal 1 ayat 1 )

Kehidupan ini tidak  terleas dari dunia tarbiyah. Keberadaan pendidikan merupakan sebuah dunia yang lahir dari rahim kasih sayang. Pendidikan harus berlangsung dalam suasana kekeluargaan dengan pendidik sebagai orang tua dan anak didik (murid) sebagai anak.

Kita mengetahui bahwa pendidikan dilakukan dengan hati lewat rasa kasih sayang,keikhlasan,kejujuran,keagamaan (spiritual) dan suasana kekeluargaan. Guru tidak dibatasi waktu dan tempat dalam mendidik murid sebagaimana orang tua mendidik anaknya.

Seorang guru harus ikhlas dalam memberikan bimbingan kepada para siswanya sepanjang waktu. Demikian pula tempat pendidikannya tidak terbatas hanya di dalam ruang kelas saja, dimanapun seorang guru berada, dia harus sanggup memainkan perannya sebagai seorang pendidik yang sejati. Fenomena ini yang kini hilang dari sistem pendidikan nasional kita sekarang.

Seorang muallim (Guru) professional bukan hanya guru-guruan) seharusnya memiliki niat yang baik, niat yang tulus ikhlas dalam menjalani profesinya. Tidak mengharapkan pujian, penghargaan, penghormatan, ketenaran dan sejenisnya. Di supervisi maupun tidak oleh kepala sekolah atau pengawas dan lainnya tetap konsisten melaksanakan tupoksi (tugas pokok dan fungsi)nya.

Dalam perjalanannya sebagai guru professional tidak mengharapkan imbalan atau balasan yang lebih baik dan lebih bagus dari profesinya. Menjadi guru harus memiliki niat yang tulus ikhlas hanya karena Allah SWT semata. Menjadi guru apabila tidak disertai dengan niat yang tulus ikhlas maka pekerjaannya hanya sebatas mendapatkan upah atau tunjangan guru (Sertifikasi) dari yang dikerjakannya, tak ada imbalan selain itu. Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad SAW:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى  صحيح البخاري (1/ 6)

 “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya dan sesungguhnya bagi seseorang itu akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya”. (HR Bukhari).

Niat yang tulus ikhlas sangatlah menentukan. Jika bekerja sebagai guru dilandasi dengan niat yang tulus ikhlas, maka Allah SWT akan memberikan dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan imbalan di akherat kelak.

Ikhlas dalam menjalankan pekerjaan sebagai guru adalah landasan dari keberhasilan. Guru yang ikhlas tidak akan tersesat dan terperosok oleh bujuk rayu Iblis ataupun setan. Akan tetapi guru yang tidak ikhlas tak kan dapat membuahkan kebaikan melainkan hanya akan merugikan dan menyesatkan diri sendiri. Karena suatu saat kedoknya akan terbongkar gara-gara pekerjaannya tidak dilandasi dengan keikhlasan, yang pada akhirnya kawan seperjuangan akan menjauhinya. Lain halnya dengan guru yang ikhlas, ia akan mendapatkan simpati dari warga sekolah dan banyak kawan dalam pergaulan.

Siapa guru yang ikhlas itu? Ali bin Abi Thalib RA berkata, “Orang yang ikhlas adalah orang memusatkan pikirannya agar setiap amalnya diterima Allah SWT.” Bahkan, seorang ulama mukhlisin, Ayyub As-Sakhtiyaany RA, mengatakan, “Demi Allah, tiadalah seorang hamba yang benar-benar ikhlas kepada Allah, melainkan ia merasa senang apabila dirinya seolah-olah tidak mengetahui kedudukan dirinya.” Guru yang ikhlas paham dan sadar bahwa segala amal perbuatannya mesti bersih dari sikap riya, dan hanya diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah SWT semata.

Apa itu Ikhlas? 

Dalam hal ini Abul Qasim jmengatakan, ikhlas merupakan membersihkan amalan dari komentar manusia. Jika kita sedang melakukan suatu amalan maka hendaklah kita tidak bercita-cita ingin mendapatkan pujian makhluk. Cukuplah Allah saja yang memuji amalan kebajikan kita. Dan seharusnya yang dicari adalah ridha Allah, bukan komentar dan pujian manusia.

Hudzaifah Al Mar’asiy juga menambahkan Ikhlas adalah kesamaan perbuatan seorang hamba antara zhahir (lahiriyah) dan batin.” Berkebalikan dengan riya’. Riya’ adalah amalan zhahir (yang tampak) lebih baik dari amalan batin yang tidak ditampakkan. Sedangkan ikhlas, minimalnya adalah sama antara lahiriyah dan batin.

Menurut Imam Al Ghazali, peringkat ikhlas itu ada tiga: pertama, Ikhlas awam yakni ikhlas yang dalam beribadah kepada Allah karena dilandasi perasaan takut kepada siksa-Nya dan masih mengharapkan pahala dari-Nya.

Kedua, Ikhlas khawas, ialah ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena dimotivasi oleh harapan agar menjadi hamba yang lebih dekat dengan-Nya dan dengan kedekatannya kelak ia mendapatkan “sesuatu” dari-Nya.

Ketiga, Ikhlas khawas Al khawas adalah ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena atas kesadaran yang tulus dan keinsyafan yang mendalam bahwa segala sesuatu yang ada adalah milik Allah dan hanya Dia-lah Tuhan yang Maha Segala-galanya.

Beranjak dari pembahasan diatas, keikhlasan itu harus hadir dalam disetiap aspek dan sendi kehidupan terlebih mereka yang menjadi seorang muallim (guru). Ini sangat mutlak dimiliki oleh sang muallim demi keberhasilan dalam dunia pendidikan dan mencerdaskan generasi bangsa ini, ikhlas itu ruh dan seorang guru tanpa ruh laksana gelap yang dihiasi oleh lampu tanpa cahaya. Mari kita rajut keikhlasan demi meraih keberkahan dan ridha-Nya dunia dan akhirat. Amin.

× Hubungi Kami Via Chat