”Aku adalah salah seorang yang menggali makam untuk Saad, dan setiap kami menggali satu lapisan tanah, tercium oleh kami wangi kesturi”.
~Abu Said al-Khudri berkata

SETAHUN sebelum hijrah ke Yatsrib, Rasulullah mengutus Mush’ab bin Umair untuk berdakwah di sana atas permintaan penduduk setempat yang sebelumnya sudah beriman dan berbaiat kepada Rasulullah saat mereka melaksanakan ibadah haji di Aqabah, Makkah.
Mush’ab datang ke Yatsib dan menetap di Bani Ghanam di rumah As’ad bin Zurarah. Selang beberapa hari, Mush’ab dipertemukan dengan seorang tokoh dari Bani Abdul Asyhal yang memiliki pengaruh yang sangat besar. Setelah mendapatkan penjelasan tentang nilai-nilai luhur ajaran Islam dari Mush’ab, dia yang awalnya tidak menyukai kedatangan Mush’ab langsung mengikrarkan syahadat.
Setelah itu, dia menunjukkan pengaruh dan wibawanya yang luar biasa. Pemimpin yang masih berusia 31 tahun itu berkata kepada kaumnya, “Tidak ada seorang pun, baik laki-laki maupun perempuan, boleh berbicara kepadaku sampai dia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya!”
Sebelum sore hari, seluruh kaumnya ikut beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Ushairim yang beriman saat tiba perang Uhud. Ia belum pernah sujud namun syahid di jalan Allah dalam perang tersebut.
Tokoh yang sangat berwibawa tersebut bernama Saad bin Muadz al-Anshari al-Asyhali. Dia berpostur tinggi-besar dan tampan, bahkan termasuk salah seorang shahabat yang paling tinggi dan besar badannya.

Mengabdikan Diri untuk Agama
Dalam tuntunan iman, Saad bin Muadz menjadi pejuang tangguh. Dia mengabdikan hidupnya untuk kejayaan Islam dan kebahagiaan kekasihnya, Rasulullah. Dalam waktu yang singkat dia telah mengukir banyak momen-momen kepahlawanan yang luar biasa.
Pada saat Perang Badar, dia mewakili orang-orang Anshar memberikan sikap dan dukungan yang tegas terhadap Rasulullah. Di tengah keterbatasan dan minimnya jumlah umat Islam dibandingkan musuh yang akan dihadapi, dia berkata:
”Wahai Rasulullah, mungkin Engkau khawatir orang-orang Anshar hanya akan menolongmu di dalam kota mereka (Madinah) saja. Dan aku bicara dan menjawab kekhawatiran Engkau atas nama kaum Anshar, ‘Berangkatlah ke mana saja Engkau mau, sambunglah ikatan dengan siapa saja yang engkau mau, dan putuslah hubungan dari siapa saja yang engkau kehendaki.
Ambillah berapa saja harta yang Engkau kehendaki dari mereka, dan sisakanlah kepada mereka berapa saja yang Engkau kehendaki. Apa yang Engkau ambil dari kami lebih kami sukai dari pada yang tidak Engkau ambil.
Apa saja yang Engkau perintahkan merupakan kewajiban bagi kami untuk mengikutinya. Demi Allah, seandainya Engkau bawa kami hingga ke Bark di Ghamadzan (di Shan’a’, Yaman), sungguh kami akan terus mengikutimu, dan seandainya Engkau bawa kami ke tepi laut lalu engkau menyelaminya, sungguh kami akan ikut menyelam bersamamu.
Kami bangga menemanimu besok untuk menghadapi musuh. Kami adalah orang-orang yang tahan banting di medan tempur dan gagah berani di hadapan musuh. Semoga, esok hari Allah memperlihatkan dari kami sesuatu yang dapat membahagiakanmu’.”
Pada Perang Uhud, ketika umat Islam terdesak oleh serangan balik pasukan Quraisy, dia menjadi tameng Rasulullah, tegak berdiri di sisi beliau. Di peristiwa Khandaq, dia turut mempertahankan Madinah mati-matian. Dia terluka parah di bagian bahunya, terkena panah Hibban bin Qais al-Ariqah. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk merawat Saad di kemah Rufaidhah di dalam masjid agar memudahkan beliau untuk menjenguknya.
Di tempat perawatannya, tokoh muda ini mengarahkan pandangannya ke langit dan berdoa:
“Ya Allah, jika dari peperangan dengan orang-orang Quraisy ini masih ada yang Engkau sisakan, maka panjangkanlah umurku untuk menghadapinya. Karena tak ada kaum yang lebih aku sukai untuk aku hadapi dan aku lawan dari pada kaum yang telah menganiaya, mendustakan dan mengusir Rasul-Mu. Dan seandainya Engkau telah mengakhiri perang antara kami dengan mereka, maka jadikanlah kiranya musibah yang telah menimpa diriku sekarang ini sebagai jalan untuk menemui syahid. Dan janganlah Engkau cabut nyawaku sebelum hatiku lega dari (pengkhianatan) Bani Quraizhah.”
Peristiwa Khandaq menggambarkan dengan jelas lobi-lobi Yahudi untuk menghancurkan Islam. Mereka memanfaatkan permusuhan orang-orang kafir Quraisy sebagai media untuk menggalang kekuatan melawan Rasulullah. Seluruh komunitas Yahudi yang awalnya menjalin perjanjian damai dengan umat Islam ternyata melakukan pengkhianatan, di antaranya adalah Bani Quraidzah.
Diceritakan oleh Sayidah Aisyah Ummul Mukminin, bahwa ketika Rasulullah pulang dari Perang Khandaq, beliau meletakkan senjata lalu mandi. Kemudian Malaikat Jibril datang menemui beliau sambil mengibaskan debu dari kepalanya lalu berkata: “Apakah Engkau hendak meletakkan senjata? Demi Allah, kita tidak boleh meletakkannya. Keluarlah (untuk menyerbu) mereka.”
Beliau bertanya: “Ke mana?”
Jibril memberi isyarat (untuk menyerbu) Bani Quraizah. Maka Nabi berangkat untuk menyerbu mereka. Akhirnya Bani Quraizah sepakat tunduk pada hukum beliau. Namun beliau menyerahkannya kepada Saad.
Saad kemudian datang dengan menunggang keledai. Ketika sudah dekat, Rasulullah bersabda, “Berdirilah kalian untuk menjemput pemimpin kalian.”
Saad pun tiba dan duduk dekat dengan Rasulullah, lalu beliau bersabda kepadanya: “Sungguh mereka setuju dengan keputusan yang akan kamu putuskan.”
Lalu Saad berkata: “Aku putuskan agar semua tentara perang mereka dibunuh dan anak-anak mereka dijadikan tawanan.”
Rasulullah bersabda: “Sungguh kamu telah memutuskan hukum kepada mereka dengan hukum Allah (Raja segala raja).”
Peristiwa ini menjadi sebuah pelajaran yang berharga bagi umat Islam bahwa agama Islam selain mengajarkan kasih sayang dan toleransi, juga memerintahkan pemeluknya untuk bersikap tegas dan tidak membiarkan potensi-potensi bahaya mengancam eksistensi mereka.

Ruhnya Disambut Para Malaikat
Rasulullah sering sekali mengunjungi Saad. Suatu ketika beliau datang menjenguknya lalu meletakkan kepalanya di pangkuan beliau sambil bersabda, “Ya Allah, Saad telah berjihad di jalan-Mu, membenarkan Rasul-Mu, dan telah memenuhi kewajibannya. Maka terimalah ruhnya dengan sebaik-baiknya cara Engkau menerima ruh”.
Doa yang dipanjatkan Rasulullah membuat jiwanya tenang dan damai. Saat itu dia dengan susah payah membuka matanya dan mengarahkan pandangannya ke wajah Nabi yang sangat dia cintai, lalu berkata, “Assalâmu’alaika, yâ Rasûlullâh. Ketahuilah bahwa saya mengakui bahwa Engkau adalah Rasulullah.”
Sambil memandang wajah shahabatnya tersebut, Rasulullah berkata, “Kebahagiaan bagimu, wahai Abu Amr!”
Sebulan setelah peristiwa Khandaq, lukanya semakin parah. Darah kian deras menyembur dari otot-ototnya. Hingga akhirnya dia menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia 37 tahun. Hanya 6 tahun dia beriman. Tapi waktu yang sebentar itu dia lalui dengan dedikasi dan perjuangan yang luar biasa untuk kejayaan Islam.
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah bahwa Malaikat Jibril menemui Rasulullah dan bertanya, “Siapakah hamba shalih yang wafat sehingga pintu-pintu langit terbuka untuknya dan Arasy bergetar?” Rasulullah kemudian keluar, ternyata beliau mendapati Saad bin Muadz telah wafat.
Beliau kemudian keluar tergesa-gesa, hingga tidak melilitkan kembali selendangnya yang terurai, dan tidak menyapa seorang pun. Orang-orang bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa Engkau mengabaikan kami?”
Beliau menjawab: “Aku khawatir malaikat mendahului kita memandikan jenazah Saad bin Muadz, seperti halnya dia mendahului kita memandikan jenazah Hanzhalah.”

× Hubungi Kami Via Chat